Beranda | Artikel
Kaidah Fikih: Hukum Wasilah (Sarana) Tergantung pada Tujuan-Tujuannya
Kamis, 23 Mei 2024

Kaidah kali ini akan menjelaskan bahwa wasilah atau perantara di dalam syariat Islam terkena hukum yang lima. Baik wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sehingga, wasilah terkena hukum yang lima tersebut sesuai dengan tujuannya. Jika tujuannya adalah hal yang wajib, maka wasilah pun menjadi hal yang wajib, dan begitu seterusnya.

Bait syair untuk kaidah ini

Untuk lebih jelas, simaklah bait syair dari kaidah berikut,

وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ

وَاحْكُمْ بِهَذَا الحُكْمِ لِلزَّوَائِدِ

“Wasilah suatu perkara sama hukumnya seperti tujuannya.

Maka, berhukumlah dengan hukum ini sebagai penyempurna.”[1]

Maksudnya, wasilah atau sarana sama seperti tujuannya.

Kaidah-kaidah yang terlahir dari kaidah ini

Pertama: Perantara untuk amalan wajib

Sehingga, dari sini terlahir beberapa kaidah yang lain. Di antaranya,

مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Perkara wajib yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu menjadi wajib.”

Maka, perantara untuk amalan yang wajib, perantara tersebut dihukumi menjadi hal yang wajib. Beberapa contohnya,

Berjalan untuk melaksanakan salat wajib

Dalam hal ini, terdapat keutamaan tersendiri bagi orang-orang yang berjalan ke masjid untuk melaksanakan salat wajib. Akan diangkat derajatnya, dihapuskan dosa-dosanya, dan akan didoakan oleh malaikat selama ia menunggu waktu salat.[2]

Begitu pun dengan syarat-syarat yang lainnya. Bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, dan lain-lain. Ini semua hal yang wajib sebagai perantara untuk sempurnanya amalan wajib, yaitu salat.

Menghadiri majelis ilmu dan mempelajari ilmu agama

Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sehingga, segala sarana untuk mempelajari ilmu hukumnya wajib. Terlebih ilmu tersebut berkaitan dengan fardhu ‘ain. Karena hal ini, Nabi yang mulia shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah untuknya jalan menuju surga.”[3]

Dalam mempelajari ilmu agama terdapat dua hal. Ada yang bersifat tujuan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ada yang sifatnya sarana yang mengantarkan untuk memahami kedua ilmu tersebut, seperti halnya ilmu bahasa Arab. Maka bagi orang-orang yang ingin memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, wajib baginya untuk mempelajari ilmu bahasa Arab terlebih dahulu. Karena itu sebagai pengantar kepada hal yang wajib.

Berjihad di jalan Allah

Berjihad di jalan Allah pun hukumnya wajib. Tentunya setelah terpenuhi segala syarat. Dan di antara syarat jihad adalah bersama Ulil Amri. Untuk berjihad di jalan Allah tentunya harus ada persiapan dan sarana-sarana yang dipersiapkan. Maka, segala hal tersebut dihukumi wajib pula. Simaklah firman Allah Ta’ala,

ذَٲلِكَ بِأَنَّهُمۡ لَا يُصِيبُهُمۡ ظَمَأٌ۬ وَلَا نَصَبٌ۬ وَلَا مَخۡمَصَةٌ۬ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَطَـُٔونَ مَوۡطِئً۬ا يَغِيظُ ٱلۡڪُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنۡ عَدُوٍّ۬ نَّيۡلاً إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِۦ عَمَلٌ۬ صَـٰلِحٌ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً۬ صَغِيرَةً۬ وَلَا ڪَبِيرَةً۬ وَلَا يَقۡطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا ڪُتِبَ لَهُمۡ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا ڪَانُواْ يَعۡمَلُونَ 

“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula). Karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 120-121)

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa segala sarana diberikan balasan oleh Allah Ta’ala. Sebagai ganjaran atas usaha untuk melakukan kewajiban dari ibadah tersebut.

Masih banyak lagi sarana-sarana kepada amalan yang wajib. Seperti wajibnya mencari air untuk melaksanakan salat, mempelajari tentang petunjuk waktu salat atau kiblat, usaha untuk mencari nafkah yang halal, dan lain sebagainya.

Kedua: Perantara untuk amalan sunah

مَا لَا يَتِمُّ المَسْنُوْنُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ

“Perkara sunah yang tidak dapat sempurna kecuali dengannya (suatu perkara), maka suatu perkara itu adalah sunah.”

Segala perantara untuk amalan sunah, maka hukumnya pun sunah. Seperti salat sunah, sedekah, puasa sunah, sunah-sunah yang berkaitan dengan haji dan umrah. Sarana untuk mengantarkan kepada amalan ini, maka hukumnya pun sunah.

Ketiga: Perantara untuk hal yang mubah

Sama halnya dengan hukum-hukum yang telah disebutkan di atas. Sarana dihukumi mubah ketika suatu perbuatan dihukumi mubah. Sedangkan perkara yang dihukumi mubah dalam syariat adalah segala hal yang berkaitan dengan muamalah atau perkara duniawi, selama tidak ada dalil yang melarangnya. Karenanya para ulama membuat kaidah,

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإبَاحَةُ

“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah.”[4]

Namun, dalam perkara mubah ini ada hal yang harus diketahui. Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

أَنَّ كُلَّ مُبَاحٍ تَوَسَّلَ بِهِ إِلَى تَرْكِ وَاجِبٍ أَوْ فِعْلِ مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ

“Setiap hal mubah yang mengantarkan seseorang untuk meninggalkan yang wajib dan mengerjakan yang haram, maka hukumnya haram.[5]

Contohnya adalah jual beli setelah dikumandangkan azan untuk salat Jumat. Jual beli hukum asalnya mubah, namun ketika dilakukan setelah dikumandangkannya azan untuk salat Jumat, maka jual beli di waktu tersebut hukumnya menjadi haram. Hal ini karena terdapat larangan dari Allah Ta’ala,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوۡمِ ٱلۡجُمُعَةِ فَٱسۡعَوۡاْ إِلَىٰ ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَذَرُواْ ٱلۡبَيۡعَ‌ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)

Sehingga, jual beli menjadi haram hukumnya setelah dikumandangkannya azan Jumat. Berdasarkan perintah untuk meninggalkan hal tersebut yang ada pada ayat di atas.“

Termasuk perkara mubah yang dapat mengantarkan kepada meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram adalah bermain atau menonton bola saat azan sudah dikumandangkan. Terlebih-lebih sampai tidak mengerjakan salat. Maka, hal ini tentunya menjadi haram hukumnya. Masih banyak lagi contoh dari perkara mubah menjadi haram dikarenakan menjadi sarana untuk meninggalkan perkara wajib ataupun melakukan yang haram.

Keempat: Perantara untuk hal makruh

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

الوَسِيْلَةُ إِلَى المَكْرُوْهِ مَكْرُوْهٌ

Perantara kepada hal yang makruh, maka hukumnya makruh.”[6]

Contoh perkara yang makruh adalah tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah waktu salat Isya. Dari Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai tidur sebelum Isya dan mengobrol setelah Isya.”[7]

Dalam hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian tiga hal: orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”[8]

Maka, segala perantara yang bertujuan untuk melakukan hal makruh tersebut, dihukumi makruh.

Termasuk dalam hal ini juga, perbuatan dosa dan maksiat. Segala perantara yang mengantarkan seseorang untuk melakukan dosa dan maksiat, maka harus dihindari. Seperti zina, segala perantara yang mengantarkan kepada zina, tidak boleh dilakukan. Seperti pacaran, berbicara tanpa hajat dengan lawan jenis, dan lain sebagainya. Maka, sudah semestinya hal tersebut ditinggalkan.

Kelima: Perantara untuk hal haram

Seperti halnya syirik besar. Telah diketahui bersama bahwa orang yang mati dalam keadaan berbuat syirik besar, Allah tidak akan mengampuninya dan pelakunya kekal di dalam neraka.

Karena itu, segala perbuatan yang mengantarkan kepada syirik besar dilarang dalam syariat Islam. Dalam hal ini adalah segala bentuk syirik kecil. Karena syirik kecil dapat mengantarkan seseorang kepada syirik besar. Seperti contohnya, bersumpah dengan selain nama Allah, riya‘, sum’ah, memakai gelang atau benda-benda lainnya sebagai penangkal dari marabahaya, dan lain sebagainya. Ini semua diharamkan dalam syariat karena dapat mengantarkan kepada syirik besar.

Demikianlah kaidah di antara kaidah-kaidah fikih yang sangat jelas. Sungguh kaidah ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin, sebagai penimbang suatu perkara maupun amalan-amalan.

Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.

***

Depok, 10 Zulkaidah 1445 H / 17 Mei 2024

Penulis: Zia Abdurrofi


Artikel asli: https://muslim.or.id/95139-kaidah-fikih-hukum-wasilah-sarana-tergantung-pada-tujuan-tujuannya.html